Untuk
kamu yang pernah menjadi bagian dari hidupku..
Selamat
pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam. Aku ucapkan semua itu, karena
aku tidak yakin, kapan kamu akan membaca secarik kertas berisi kenangan kita
dulu. Tidak terasa ya, sudah cukup lama
kamu menjadi teman perjalanan hidupku, sekarang kamu sudah pergi lagi. Aku
sedih memang, tapi aku ingat katamu dulu, aku tidak boleh terlalu lama bersedih
itu hanya akan memperburuk suasana. Kamu ingat kan? Itu saat aku menangis di
malam kemah saat aku duduk di jembatan tidak jauh dari tendamu.
Waktu itu aku menangis karena aku
kembali merasakan kekecewaan yang cukup mendalam. Aku merasa sedih hingga aku
merasa sangat kesepian, walaupun aku tahu di tempat itu banyak orang. Tapi,
kesepian itu pecah saat kamu datang. Kamu bertanya padaku, kenapa aku menangis.
Lalu kamu memberitahu ku, kalau air mata yang kita jatuhkan untuk seseorang
yang tidak pernah menangisi kita itu percuma. Dan aku sadar, kalau selama ini
aku menangisi orang yang salah, aku tidak pantas menangisinya. Kamu duduk di
sampingku, kita lalu menghitung banyaknya bintang di langit. Sampai acara api
unggun tiba, kamu tetap berada di sampingku. Ingat tidak, kita selalu
mencuri-curi pandang? Kita saling tersenyum bila ketahuan curi-curi pandang?
Sampai
pada akhirnya, kamu kembali mengingatkan aku tentang masa laluku. Kamu tahu
kenapa? Saat itu kamu memakai parfum yang sama seperti yang dia pakai dulu.
“Kamu
kenapa lagi?” tanyamu,
“Aku
sedih lagi gara-gara kamu!” bentakku
“Aku?
Memang aku salah apa kamu marah sama aku?”
“Kamu
nggak salah apa-apa, tapi kamu kenapa pakai parfum itu?”
“Parfum?
Oh, ini aku cuma minta sama Puspa kok. Ada yang salah dari parfum ini?”
“Nggak,
hanya saja parfum yang kamu pakai itu mengingatkan aku sama Mika,”
“Oh,
maafin aku, aku tidak tahu kalau parfum ini mirip dengan Mika,” katamu sambil memegang
kedua tanganku.
Sudah
3 hari kita bersama dalam suasana perkemahan, kini kita harus berpisah.
Maksudku, kita sudah tidak bisa meluangkan waktu untuk bersama seperti saat
kita di bumi perkemahan. Pada awalnya aku takut kalau kita tidak bisa seperti
dulu lagi, tapi ternyata aku salah. Kita bisa meluangkan waktu untuk bersama,
bahkan lebih banyak. Kamu ingat tidak pertama kali kita saling mengirim pesan
singkat? Aku saat itu menghubungimu karena aku dan Puspa ingin sekali
mengajakmu dan Rafa untuk bermain di rumah Puspa.
Kamu
tahu? Saat pertama aku mengirim pesan singkat itu, Puspa mengatakan kalau kita
ini cocok, dia ingin melihat kita untuk bersatu. Kamu tahu maksudnya kan? Kalau
kamu sudah tahu, aku tidak perlu menjelaskannya. Aku waktu itu tidak mau
mengatakannya padamu, karena aku tahu, aku bukan siapa-siapa untukmu. Benarkan?
Dan sejak saat itu, kita mulai sering berhubungan. Entah lewat pesan singkat
atau melalui telepon. Aku ingat betul, saat kamu dikecewakan oleh seseorang
yang mungkin sangat kamu sayang. Dia meninggalkan kamu karena alasan yang tidak
jelas. Disaat itu, aku mengerti betul bagaimana rasanya menjadi kamu. Aku
mencoba menghiburmu semampuku. Dan ternyata usahaku tidak sia-sia. Kamu
berhasil tersenyum lagi saat aku mengatakan,
“Udahlah Dan, lupain aja perempuan kayak dia. Bisanya kok cuma nyakitin
kamu. Cari yang lebih baik kan banyak,”
“Kalau
kamu aja gimana gantinya?” kamu bilang seperti itu, aku tidak percaya. Mana
mungkin seorang sahabat mengatakan hal yang tidak seharusnya dikatakan.
Lama-kelamaan,
kita menjadi semakin dekat. Kamu mulai menunjukkan perhatianmu, kamu mulai
memberi secelah harapan. Tapi—harapan yang kamu berikan harapan yang
sesungguhnya atau hanya harapan palsu? Ahhh, aku tidak peduli. Aku tidak
peduli, karena aku memang tidak benar-benar mencintaimu, apalagi
mengharapkanmu. Kamu tahu kenapa? Ya karena aku masih menaruh harapan pada
mantanku, Mika. Aku memang tidak bisa membohongi diriku sendiri.
Hingga
pada akhirnya, malam bulan puasa, kamu menghubungiku saat aku sedang asyik
bermain perahu air di sebuah taman kota bersama saudariku. Aku sangat terkejut
ketika mengangkat telepon mu,
“Ar, kamu mau jadi pacar aku?”
Sontak,
aku membalasnya dengan membrondong berbagai pertanyaan,
“Dan? Kamu ini kalau bercanda
jangan sama aku.. Aku nggak suka,”
“Ar, aku serius. Kamu mau nggak
jadi pacar aku?”
“Dan, kita ini sahabat. Nggak
mungkin aku pacaran sama sahabatku sendiri. Lagian kamu juga tahu kan kalau aku
itu nggak sesempurna dan secantik wanita lain? Apalagi mantanmu,”
“Aku nggak peduli kita ini sahabat
atau apa. Aku juga nggak peduli kamu cantik apa nggak, yang penting itu hati
kamu, dan aku juga nggak peduli mantan aku, dia masa lalu,”
Aku
terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Aku bertanya pada saudariku, haruskah aku
menerima cintamu? Dia bilang aku harus menerimamu kalau aku tidak mau terus
teringat masa lalu. Aku semakin bingung, disisi lain aku mencintai Mika, disisi
lain, aku mencintaimu sebagai sahabatku sendiri.
“Ar, kamu masih disitu?” tanyamu,
“Iya Dan, aku masih di sini,”
“Gimana kamu mau jadi pacar aku?”
“Dan, kasih aku waktu sampai jam
12. Aku mau berpikir lagi, nanti kalau aku sudah punya jawaban yang fix, aku
akan menelepon mu lagi. Kamu nggak keberatan kan?”
“Jam 12? Oke, nggak papa,” katamu
sedikit kecewa
Aku
bingung, aku harus menjawab apa saat itu. Tanpa pikir panjang, saat itu juga
aku langsung menghubungi sahabatku, Puspa. Aku bilang sama dia kalau kamu
nembak, dan aku tidak tahu harus bagaimana. Lalu, Puspa bilang, kalau aku harus
terima kamu, soalnya, kamu sudah meninggalkan orang lain hanya untuk aku.
Handphone
ku berdering, kamu kembali meneleponku,
“Ar, gimana jawaban kamu? Kamu mau atau
nggak?” tanyamu
“Oke, kita jalanin dulu aja,” aku menarik
napas panjang
“Jadi, malam ini, tanggal 18 Juli
2012 jam 22:30 kita resmi pacaran?”
“Iya,”
“Terima kasih Ara, aku tidur dulu
ya,”
“Sama-sama Danny, selamat malam
Superman-ku,”
“Selamat malam Superwoman-ku,” kamu
menutup telepon ku
Aku
tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, aku sama sekali tidak merasa senang,
justru aku merasa sedih. Bukan karena aku menyesal telah menjadi pacarmu, tapi
aku sedih karena aku takut mendapat karma. Ya, karena aku hanya memberi harapan
palsu untuk kamu. Maaf.
Kini,
hari demi hari aku merasa ada yang berbeda dari hidupku. Aku merasa bagian
tubuhku yang hilang itu telah kembali, itu karena kamu. Awalnya, aku sama
sekali tidak mencintaimu, tapi mengapa aku sekarang mencintaimu ya? Aku bahagia
lagi sekarang. Aku memiliki kamu, Danny. Kamu membuat aku kembali merasakan
indahnya dunia, kamu membuat aku tersenyum lagi. Kamu sungguh baik, dan kamu
juga dewasa, seperti Mika. Terima kasih Tuhan, Kamu telah mengirimkan seseorang
yang lebih baik dari Mika.
Aku
ingat, kamu pernah bilang sama aku, kalau kamu ingin sekali aku menjadi dewasa,
tidak seperti saat ini, seperti anak kecil. Tapi, kamu tidak pernah menunjukkan
aku bagaimana caranya menjadi dewasa. Kamu membuatku bingung. Kamu tidak
seperti Mika, dia mengajariku bagaimana caranya menjadi dewasa. Maaf, kalau aku
membandingkan kamu dengan Mika.
Hari
terus berganti, waktu terus berjalan. Seiring dengan semua itu, kebahagiaan
yang aku rasakan ternyata hanya sebentar. Kamu mulai berubah, kamu mulai
menjauh, kamu tidak pernah memberiku kabar. Bahkan untuk menemuiku saja tidak
pernah, kamu cenderung meluangkan waktu bersama teman-temanmu yang tidak baik
itu. Setiap malam aku selalu menadahkan tangan, aku bicara pada Tuhan, aku
bilang kamu berubah, aku minta Danny yang dulu, bukan sekarang.
Kamu
ingat tidak? Saat aku berulang tahun, aku sengaja tidak tidur hanya untuk
menunggu kamu menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun
padaku, nyatanya tidak. Di sekolah saja, kamu tidak mengucapkan itu. Dan, acara
makan malam kita kamu batalkan hanya karena kamu ingin bermain dengan temanmu
itu. Jujur, saat itu aku kecewa sekali padamu. Aku marah, aku tidak ingin
bertemu denganmu. Aku menjauh pun, kamu tidak peduli, sebenarnya aku ini patung
atau pacarmu?! Aku sekarang merasa kehilangan seorang Danny, aku seperti tidak
memiliki pacar. Dan, pada akhirnya, aku memutuskan untuk menyudahi hubungan
kita ini. Aku sudah tidak tahan lagi denganmu.
“Dan,
kita sudah nggak cocok, lebih baik kita berteman seperti dulu lagi. Semoga kamu
mendapat yang lebih baik dan lebih dewasa dari aku,” kataku menahan tangis.
“Ya,
kalau itu memang maumu,” kamu seperti kecewa
“Terima
kasih untuk semunya,”
“Ya,”
katamu sambil meninggalkan aku.
Aku
kembali sendiri, tidak ada kamu lagi. Tapi setidaknya, aku merasa bahagia. Ya,
karena aku masih punya sahabat-sahabat yang masih setia denganku. Belum genap
seminggu, ku dengar kabar kau telah berpaling dariku, aku tidak menyangka kamu
sejahat itu padaku. Aku disini berjuang keras melupakanmu, dan kamu dengan
enaknya memiliki wanita lain. saat itu juga, aku langsung jatuh sakit. Aku terbaring
lemas di rumah sakit selama beberapa hari.
“Syukur
deh Ar, kamu sudah pulang dari rumah sakit. Besok kamu bisa kan datang di ulang
tahunku?” Puspa membantuku berjalan.
“Iya
Pus, dokter bilang aku udah boleh pulang. Demi kamu, aku dateng kok, tenang
aja,” kataku
“Bener
yah? Aku tunggu tanggal 2 Oktober jam 5 sore,”
“Iya
mbak Puspa,” senyumku
Aku
beruntung punya sahabat seperti Puspa, dia yang selalu ada disaat aku sedih
atau senang. Terima kasih Puspa, aku tidak tahu harus bagaimana membalas
kebaikanmu.
2
Oktober telah tiba, dan aku sudah berada di rumah Puspa sebelum jam 5 sore. Aku
sudah rapi dengan baju warna kuning dan rok putih. Semua tamu undangan sudah
datang, aku menunggu acara potong kue sangat lama. Aku tanya sama Puspa kenapa
lama, katanya Puspa masih menunggu kamu untuk datang. Tidak lama setelah itu,
aku dengar suara motormu, kamu datang dengan menggunakan kemeja merah. Kamu terlihat
tampan. Saat acara potong kue dimulai, air mata tiba-tiba air mataku membasahi
pipiku. Aku tidak sanggup melihatmu. Penyakitku yang belum sembuh total, kembali
datang, kepalaku terasa berat, badanku dingin. Aku terkulai lemah. Lalu Bada
datang untuk menyuruhku makan, tapi aku tidak mau. Kamu yang melihat aku dengan
keadaan seperti itu datang membawakan ku makan yang sedang duduk di dekat meja
billyard. Kamu menyuruhku makan, kamu bilang kamu mau nyuapin aku, tapi aku
nggak mau. Kamu pergi ke kamar karaoke. Bada lalu memaksaku makan, katanya
kalau aku tidak makan, aku akan menambah bebanmu saja, akhirnya aku makan.
Setelah
aku makan, kamu datang menghampiriku dan Yoris. Yoris bilang kalau kamu memang
sayang sama aku, kamu harus memperjuangkan aku. Dan kamu harus berubah, tidak
seperti dulu lagi. Aku juga harus berubah, berpikir sedikit dewasa.
“Kamu
harus berpikir dewasa Ar, kalau kamu memang nggak mau kehilangan Danny lagi. Dan
kamu, Danny, kamu harus selalu ada disaat Ara butuh kamu, nggak ngilang gitu
aja,” ucap Yoris.
Kita
berdua sepakat, dan kita saling meminta maaf dan kembali berpacaran seperti
dulu lagi. Aku lalu menyusul Puspa yang sedang bernyanyi di kamar bersama Rafa,
Bada, Chinta, dan Devi. Kita jalan berdua. Aku hampir pingsan, kamu langsung
menggendongku dan menidurkan ku di kasur. Kamu bilang aku harus beristirahat
agar tidak sakit lagi. Terima kasih untuk malam itu.
Aku
merasa bahagia kembali, sakitku perlahan mulai sembuh. Terima kasih, kamu
adalah Superman untukku Danny. Hari terus berganti, kamu yang awalnya baik
hati, perhatian, kini berubah lagi. Aku tidak tahu, kenapa kamu begini lagi. Padahal
semuanya sudah ku lakukan agar kamu bahagia. Aku sekarang membencimu. Aku tidak
ingin melihatmu lagi.
“Sayang,
aku boleh SMS-an sama Rina nggak?” tanyamu
“Terserahlah!
Aku nggak peduli!” bentakku
“Kamu
nggak marah kan sama aku?” kamu memegang tanganku
“Nggak,
udah sana pergi jangan lupa kabarin tuh si Rina!” aku pergi meninggalkanmu.
Sejak
saat itulah, aku semakin membencimu. Kenapa masih saja kamu mengharapkan wanita
yang tidak seharusnya diharapkan? Perubahanmu semakin kental, tidak pernah lagi
menghubungiku, menjauh, bersikap dingin padaku. Aku tidak kuat kalau harus
bertahan untukmu. Aku ingin sekali memutuskanmu, tapi aku tidak tahu nomor
HP-mu, dengan sangat terpaksa aku harus menunggu kamu menghubungiku. Tidak lama
aku berpikir seperti itu, kamu meminta mengakhiri semua ini, aku sangat bahagia
mendengarnya.
“Ara,
maaf, kita nggak bisa lanjut lagi. Aku terlalu jahat buat kamu, maaf. Terima kasih
untuk segalanya, aku sayang kamu,” katamu sambil mengecup keningku.
“Nggak
masalah kok, sama-sama ya,” kataku tersenyum lebar.
“Selamat
tinggal Superwoman-ku. Kita pasti akan bertemu lagi,”
Selamat
tinggal Superman-ku, terima kasih untuk semuanya. Semoga, kamu bahagia dengan
hidupmu yang baru. Tidak usah mengkhawatirkan aku, aku sekarang sangat bahagia
setelah kamu pergi. Aku senang sendiri lagi. Terima kasih sudah pernah menjadi
bagian dari hidupku. Maaf, aku belum bisa menjadi yang terbaik untuk kamu.
Dari,
Seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupmu,
Ara..
(diambil dari tugas Bahasa Indonesia karya Alma Fara)